Selasa, 29 Oktober 2013

Festival Teater Jakarta hadir kembali

Rabu, 14 November 2012 09:19 WIB | 2320 Views
Jakarta (ANTARA News) - Festival Teater Jakarta (FTJ) akan menyambut usia 40 tahun pelaksanaan dengan mengadakan serangkaian acara khusus, termasuk Pameran dan Diskusi 40 tahun FTJ.

Pameran yang berlangsung sejak 26 November-13 Desember 2012 di lobi Teater Kecil Taman Ismail Marzuki itu tidak mudah dilakukan. Pasalnya, butuh riset data dari 1973 hingga saat ini demi membuat katalog perjalanan Festival Teater Jakarta.

"Ini PR (pekerjaan rumah) untuk penyelenggara demi menghadirkan data itu," ungkap project officer FTJ 2012, Edian Munaedi dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (13/11).

Bila pameran foto-foto 40 tahun FTJ belum memuaskan, masih ada diskusi  pada 11 Desember bersama Afrizal Malna dan Sulaeman Harahap.

Selain itu, tentu ada pula pertunjukan teater dari 16 peserta festival dari lima wilayah DKI Jakarta. Mereka akan tampil di Teater Kecil, TIM, sejak 27 November-12 Desember setiap pukul 20.00 WIB.

Usai setiap pertunjukan, akan ada diskusi bersama sastrawan Afrizal Malna yang mengupas setiap pentas. Ini adalah kesempatan bagi penonton untuk lebih memahami pertunjukan teater itu.

Enam belas kelompok teater dari lima wilayah Jakarta akan menampilkan judul pentas yang beragam, seperti Teater Amoeba yang mengangkat judul "Kopral Woyzek" karya Georg Buchner, atau Teater Satu STT-PLN yang memilih karya Putu Wijaya dengan "Front".

Festival Teater Jakarta tahun ini yang mengusung prinsip "Membaca Aku Membaca Laku: Membaca Tradisi" mengundang lima dewan juri Prof. Dr. Mudhi Sutrisno, Nano Riantiarno, Remy Sylado, Beni Johanes, dan Ratna Sarumpaet.

FTJ 2012 terdiri dari serangkaian acara lain termasuk Dramatic Reading oleh grup teater senior lulusan FTJ, pertemuan Komite Teater Dewan Kesenian se-Indonesia, serta Workshop Metodologi Riset Teater.

Pembukaan Festival Teater Jakarta 2012 akan diramaikan pertunjukan Wayang Tavip dengan lakon "Penjahit Kesedihan". Wayang Tavip dibuat dari limbah botol plastik minuman mineral yang mendapat sentuhan teknologi dan menggunakan pencahayaan layaknya pembuatan film. 
(nan)
Editor: Desy Saputra
COPYRIGHT © 2012

Rio Dewanto jajal dunia teater

 
 Jakarta (ANTARA News) - Aktor Rio Dewanto untuk pertama kalinya akan menjajal dunia teater dalam "TITIK TERANG, Sidang Rakyat Dimulai" yang disutradarai Ratna Sarumpaet.
Pria yang berperan sebagai aktivis muda dalam teater perdananya itu mengaku sudah lama ingin mencoba akting di teater.
"Banyak hal yang membuat saya jatuh cinta dengan teater, saya ingin merasakan seperti apa berakting di panggung, bagaimana proses pendalaman tokoh, banyak hal," kata Rio di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Selasa.
Rio mengatakan, semua orang yang terlibat dalam teater itu saling membantu sehingga kesulitannya sebagai pendatang baru dapat teratasi.
"Teater itu seperti ensemble, bagaimana semua bersatu untuk menghasilkan karya yang baik," katanya.
Sementara itu, sang kekasih Atiqah Hasiholan berperan sebagai pekerja seks komersial yang membela nasib para pelacur.
"Saya menjadi Ria, pelacur yang memilih pekerjaan ini sebagai gaya hidup. Ria membela PSK yang tidak beruntung, yang menjadi PSK karena terpaksa, akibat kemiskinan dan trafficking."

"TITIK TERANG, Sidang Rakyat Dimulai" yang juga dibintangi Teuku Rifnu Wikana, Maryam Supraba, Ratna Sarumpaet, Marzuki Hasan, dan Jean Marais dipentaskan pada 3-6 Juli 2013 di Graha Bhakti, Taman Ismail Marzuki.

Editor: Desy Saputra
COPYRIGHT © 2013

Senin, 28 Oktober 2013

Ratna Riantiarno: Remaja Perlu Kenal Teater

Ratna Riantiarno:  Remaja Perlu Kenal Teater
Ratna Riantiarno. ANTARA/Dodo Karundeng
TEMPO.CO, Jakarta - Teater di Indonesia memang bukan pertunjukkan populer seperti konser musik yang digandrungi remaja. Melihat hal ini, menurut aktris Ratna Riantiarno, perlu dilakukan inovasi dalam pementasan atau konsep teater itu sendiri.

Istri penulis drama dan sutradara Nano Riantiarno ini optimistis jika teater masih banyak diminati. "Kami melihat dari pementasan terakhir saja, penjualan tiket habis dan saat dilihat kebanyakan yang menonton bukan penonton Koma," kata Ratna saat ditemui di Grand Indonesia, 22 Oktober 2013.

Ratna mengatakan hal tersebut karena ia sudah dapat mengenali penonton yang sudah terbiasa atau sering melihat pementasan Teater Koma.

Sebagai inovasi untuk dapat lebih dekat dan terjangkau usia muda, Teater Koma dalam dua tahun terakhir ini sudah menjalankan sebuah program bagi mahasiswa atau anak sekolah untuk dapat melihat aktivitas para pekerja teater di belakang panggung.

"Di atas panggung bisa saja orang bermain hanya beberapa orang. Tetapi penonton tidak tahu betapa ada banyak orang yang terlibat dan beada di belakang panggung."

Menurut Ratna, dengan melihat aktivitas di belakang panggung, para penonton bisa melihat kedisiplinan di panggung teater dibentuk. Setiap orang harus dapat mengingat di mana harus mengambil barang dan meletakkan kembali ke tempat awalnya. Selain itu, para pekerja teater cenderung lebih mandiri dan tidak ada bentuk dilayani.

AISHA

Ratna Sarumpaet Kembali ke Pentas Teater

Ratna Sarumpaet Kembali ke Pentas Teater
Atiqah Hasiholan bersama ibunya Ratna Sarumpaet. TEMPO/Nurdiansah
TEMPO.CO, Jakarta - Artis dan aktivis perempuan Ratna Sarumpaet kembali ke panggung seni teater setelah absen selama tujuh tahun. Bersama kelompok teater Satu Merah Panggung, Ratna akan menyuguhkan cerita kompleksitas masalah bangsa Indonesia melalui naskah bertajuk Titik Terang: Sidang Rakyat Dimulai yang akan dipentaskan pada 3-6 Juli 2013 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

"Ini fokusnya tentang kemiskinan, kedaulatan rakyat, konstitusi yang diinjak-injak," katanya saat ditemui di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu, 25 Juni 2013. "Ini penting dipentaskan karena rakyat harus berhenti menutup telinga."

"Karya saya memang enggak pernah enggak pakai penelitian," Dia menambahkan. "Karena seniman enggak boleh bohong. Titik terang ini penelitiannya seumur hidup, empirik dan data-data."

Seniman--yang juga menulis naskah Marsinah Menggugat ini--dalam pementasan kali ini menggandeng aktor dan aktris ulung dalam dunia seni peran. Sebut saja putri mendiang W.S. Rendra, Maryam Supraba; Atiqah Hasiholan, Teuku Rifnu Wikana, dan Rio Dewanto. Secara garis besar, naskah ini menceritakan kisah empat tokoh, yakni Arman (Rio Dewanto), Arma (Maryam Supraba), Ria (Atiqah Hasiholan), dan Edo (Teuku Rifnu Wikana).

Arman digambarkan sebagai sosok aktivis muda yang memperjuangkan demokrasi dan gelisah atas persoalan bangsa. Ia menjalin cinta dengan perempuan bernama Arma, anak seorang pejabat korup. Sementara itu, Edo adalah mantan aktivis yang menjadi pejabat istana, resah atas keadaan di sekitarnya yang kacau. Di tengah pergumulan politis itu, ada sosok Ria, pelacur cantik yang memperjuangkan nasib rekan-rekannya dari tekanan sosial.

Para pemeran masing-masing memerankan tokoh sebagai sentral cerita. Namun, diakui Ratna masih memiliki benang merah yakni menuturkan pesan tentang kemiskinan sehingga ia pun mengaku tak segan menghadirkan cerita ini sebagai kritik kepada pemegang kuasa negara.

"Ini karya saya yang sangat keras," kata aktivis gerakan reformasi 1998 itu. "Tapi saya mau mengingatkan keras ini dalam konteks apa. Kalau menurut saya, Indonesia yang punya presiden dari pertama sampai sekarang masih gini aja rakyatnya, ya perlu marah."

Naskah karya yang juga akan diproduksi dalam bentuk buku ini merupakan karya Ratna kesebelas. Karyanya Marsinah Menggugat sempat dicekal dan pementasannya dibubarkan secara paksa. Meski demikian, pementasan kali ini Ratna tak peduli akan mendapatkan reaksi negatif dari pemerintah yang ia kritik. Justru Ratna punya misi mengundang pejabat istana. "Saya mencoba melayangkan surat ke istana. Mungkin dia kangen," ujar Ratma bercanda.

NURUL MAHMUDAH

Minggu, 27 Oktober 2013

Timun Mas, Cerita Dongeng yang Menyesuaikan Zaman

Timun Mas, Cerita Dongeng yang Menyesuaikan Zaman
Penari dari Sanggar Tari Soerya Soemirat GPH Herwasto Kusumo mementaskan pertunjukan drama kolosal Timun Mas di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Jawa Tengah, Kamis (28/3) malam. ANTARA/Herka Yanis Pangaribowo
TEMPO.CO, Jakarta - Sepasang raja dan ratu bersuka cita menyambut kelahiran seorang putri yang sudah lama dinantikan. Tanpa sadar, kehadiran bayi tersebut meimbulkan rasa cemburu bagi seorang gadis bernama Mawar yang sebelumnya senantiasa diberi perilaku layaknya putri kandung raja dan ratu. Budhe Tami, ibunya Mawar, merasa keberadaan si bayi mengancam posisi putrinya untuk menjadi pewaris tahta kerajaan suatu saat nanti.

Lantas, dirancanglah sebuah rencana jahat untuk menghilangkan bayi tersebut dari istana. Bekerja sama dengan Miss Mirrorski dan Wolfie, Budhe Tami berhasil menjauhkan si bayi dengan kedua orang tuanya dengan menghanyutkannya di sebuah sungai. Namun, rupanya bayi tersebut beruntung karena ia ditemukan oleh empat orang ibu yang biasa mengobati orang. Mereka mengasuh dan membesarkan si bayi yang diberi nama Timun Mas.

Lantas, apa yang selanjutnya terjadi pada gadis bernama Timun Mas ini? Itulah yang akan dikisahkan dalam sebuah pentas drama musikal Timun Mas yang akan digelar dua hari berturut-turut di Istora Senayan pada 29-30 Jni 2013.

Sebagai sebuah cerita yang bersifat anonim, kepemilikan sebuah dongeng tidak dimiliki oleh individu atau golongan tertentu. Sifatnya yang demikian membuat siapa pun dapat merasa memiliki dongeng sebagai bagian dari dirinya. Hal seperti ini pulalah yang dapat membuat dongeng bebas untuk diinterpretasi dan dikembangkan.

Setidaknya hal itu dapat dilihat dari pentas drama musikal Timun Mas yang disutradarai oleh Rama Saputra. Sebagai sutradara, Rama tentunya punya maksud tersendiri untuk mengangkat Timun Mas sebagai karya garapan terbarunya. Keinginan Rama untuk mementaskan drama musikal Timun Mas sendiri sesungguhnya sudah ada sejak lima tahun lalu. Namun, akhirnya baru bisa terwujud tahun ini.

Secara garis besar cerita yang akan diaksikan dalam drama musikal Timun Mas memang cukup berbeda dengan dongeng yang sudah kita dengar dari kecil. Terkait kisah yang dipentaskan, Rama mengakui bahwa memang ada cerita yang berbeda di dalamnya. "Sudah saatnya mengembangkan cerita dan menyesuaikannya dengan kekinian," kata Rama.

Dalam pementasan yang dikemas full musik dan permainan visual ala video mapping ini membuat pentas jadi terlihat mewah dan meriah. Selain itu, konsep panggung yang tidak pernah lepas dari garapan Rama adalah adanya sentuhan nuansa alam, terutama adanya bulan dan bintang.

"Konsep panggung saya buat simpel karena mapping sekarang benar-benar bisa digunakan karena teknologi sudah ada, bikinlah gambar itu sesuai dengan karakternya," kata Rama. Selain dari tata panggung, permainan warna-warna segar dari segi kostum membantu untuk memanjakan pandangan mata sepanjang pementasan. Kebaya-kebaya cantik rancangan desainer Annie Avantie pun turut hadir mendukung pentas bernuansa lokal yang diimbangi dengan sentuhan modern.

Alur penceritaan drama musikal ini dibagi atas 10 babak. Secara cerita, kemasan Timun Mas ini memang lebih pas untuk ditonton anak-anak usia sekolah hingga remaja, tapi tidak menutup kemungkinan untuk turut disaksikan oleh orang dewasa. Banyak nilai-nilai yang coba disisipkan sang sutradara dalam pementasan ini. Terlebih nilai bagi anak-anak seperti untuk peduli terhadap alam dan lingkungan. Menjaga keseimbangan alam, menebar cinta dan kasih sayang, serta tidak mudah menaruh dendam.

Pentas ini diramaikan oleh penampilan sosok-sosok yang sudah tidak asing lagi di dunia hiburan Indonesia. Sebut saja Nola Be3, Angel Peters, Chandra Satria, Ria Irawan, Raline Shah, Indra Birowo, Maera, Jemima, Sahita Group, dan beberapa pemain pendukung lainnya berkumpul dan menyatu dalam sebuah pentas yang berupaya menghidupkan kembali dongeng nusantara kembali bergeliat.

Dewi Kadita', Legenda Rakyat Sarat Guyonan

'Dewi Kadita', Legenda Rakyat Sarat Guyonan
Pementasan teater "Bila Malam Bertambah Malam" yang dibawakan oleh kelompok Teater Mandiri dalam gladi resiknya di Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (20/6). Teater karya Putu Wijaya ini bercerita tentang cinta remaja dengan latar belakang perbedaan kasta di Bali. TEMPO/Dwianto Wibowo
TEMPO.CO , Bandung: Perempuan buruk rupa berselendang hijau menghentikan perjalanannya di sebuah Samudra. Ia tertegun mendengar bisikan gaib yang memerintahkannya menceburkan diri ke dasar Samudra. Tubuh perempuan itu meluncur deras ke dasar Samudra, seketika wajahnya kembali cantik. Ia lebih molek dari sebelumnya.

Penggalan adegan itu merupakan bagian dari teater musikal dengan lakon ‘Dewi Kandita yang digelar Balai Pengelolaan Jawa Barat, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Teater yang digarap grup seni Anka Adika Production ini merupakan bagian dari aktivasi Taman Budaya Jawa Barat dan apresiasi seni pelajar. Sebanyak 67 pelajar dan mahasiswa se-Bandung Raya ikut andil di Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat (Dago Tea House), Bandung, Jumat, 5 Juli 2013, malam.

Para pelajar dan mahasiswa Bandung memainkan ‘Dewi Kadita’ secara komunikatif dan atraktif di atas panggung terbuka. Mitos dan cerita Dewi Kandita masih melekat di ingatan masyarakat Jawa Barat. Sebagian bahkan mempercayai cerita itu benar. Legenda rakyat Ratu Pantai Selatan umumnya lebih terkenal karena mistisnya. Namun, gelak tawa para penonton dan celetukan khas Sunda dan lawakan modern mengubah pandangan itu. Para pemeran mengemas ceritanya secara segar lakon berdurasi sekitar lebih dari 90 menit ini.

“Cerita rakyat ini dari awal hingga akhir dikemas secara segar dan humoris untuk mencairkan suasana supaya penonton terhibur dan lebih mudah mencerna ceritanya,” kata sutradara Anka Adika Production, Anton Yustian JR pada Tempo di Bandung, Jumat, 5 Juli 2013.

Beberapa adegan mengkolaborasi lipsing dialog wayang, kutipan iklan, karakter tokoh kartun. Dialognya memang kental dengan sentilan humor ala pertunjukkan longser gaul yang mengundang gelak tawa. Improvisasi adegan terkadang membuat penonton tertegun. Mereka kaget dan kembali terbahak-bahak. Sepanjang lakon, kesan serius dari cerita rakyat ini sirna.

Adegannya dinamis dan modern yang diperkaya instrumen musik. Penonton segala usia menjadi bisa mencerna alur ceritanya.  Menurut penulis naskah ‘Dewi Kadita’ Yusef Muldiyana, warga Jawa Barat perlu hiburan atau pertunjukkan seni yang menampilkan cerita rakyatnya. “Legenda rakyat Jawa Barat itu banyak dan banyak cara mengemasnya menjadi sebuah pertunjukkan seni,” kata dia. “Bisa digarap menjadi serius atau humoris, itu bagus supaya masyarakat tahu tentang cerita rakyat.”

Tata panggung berlatar kerajaan Padjajaran. Megah di sorot cahaya lampu warna-warni. Cuaca sangat dingin Kota Bandung tak mempengaruhi gerak dan nyanyian merdu para pemain.

Sorotan lampu ke latar panggung di awal adegan mengejutkan penonton. Gerombolan warga muncul ke arena panggung. Mereka yang mengenakan pakaian tradisional itu kompak menghentakan kaki ke lantai dan meliuk-liukkan tangannya mengikuti alunan musik.

Sambil menyanyi diiringi live musik, para pemain menampilkan gesture lucu pada setiap gerakannya. Tiba-tiba lelaki berikat kepala batik datang terburu-buru. “Kasihan, Ratu meninggal dan Putri lahir ditinggal Ibunya,” ujar lelaki itu terangah-engah.

‘Dewi Kandita’ mengisahkan kelahiran putri dari Raja Darma Wijaya Kusuma, seorang Raja Pajajaran ke-IV yang kemudian diberi nama Dewi Kadita. Ibunya meninggal kala melahirkannya. Sang Raja kemudian menikahi Dewi Mutiasari. Lahirlah anak laki-laki bernama Jaya Santang.

Dewi Mutiasari berambisi menjadikan Jaya Santang sebagai raja. Untuk itu, dia menguna-guna Dewi Kandita menjadi buruk rupa dan bau. Anak tirinya itupun diusir dari kerajaan dan mengambara ke alam liar. Dalam perjalanannya Dewi Kandita menemukan sebuah Samudra. Di situlah dia menerima bisikan. Dia pun menjadi Ratu Pantai Selatan.

RISANTI

Cerita Rakyat Festival Nasional Teater Remaja

3 Cerita Rakyat Festival Nasional Teater Remaja
Pertunjukan teater "Bila Malam Bertambah Malam" yang dipentaskan oleh kelompok Teater Mandiri dalam gladi resiknya di Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (20/6). TEMPO/Dwianto Wibowo
TEMPO.CO , Bandung: Cerita rakyat banyak dipilih sebagai lakon teater di ajang Festival Nasional Teater Remaja di Gedung Kesenian Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, 3-6 Juli 2013. Kisah lokal itu dinilai cocok menjadi tontonan generasi muda dengan berbagai pesan moral, semangat hidup, kejujuran, dan keagamaan.

Teater Pusat Olah Seni Jayapura dari Papua, mengangkat lakon berjudul Yaume. Karya Viany Sublyat itu menceritakan Yaume, gadis yang hidupnya sesat. Untuk memperdalam ilmu hitam, Yaume berani menghisap darah dan memakan daging orang. Kemunculannya yang selalu tak terduga membuat masyarakat resah. Atas perintah kepala desa, Satemtou, warga memburu Yaume untuk dibunuh. “Kisah nyata sekitar 30 tahun lalu ini masih hidup sampai sekarang,” kata Viany kepada Tempo, Sabtu, 6 Juli 2013.

Cerita rakyat Laposin dari Nusa Tenggara Timur menjadi pilihan Teater Akar. Laposin merupakan seorang bocah dari keluarga kaya yang sangat dimanja orang tuanya. Ketika ayahnya meninggal, ia baru belajar hidup. Meski lugu, ia tetap jujur. Saat dinyatakan Raja tidak bersalah karena telah mendorong putri Raja, Laposin bersikeras minta dihukum. “Cerita itu berasal dari leluhur, tentang orang tua yang salah mendidik anaknya,” kata pembina Teater Akar, Andri Pellendou.

Teater Grisbon dari Gowa, Sulawesi Selatan, memainkan lakon Passompe, yaitu masyarakat pelaut Bugis-Makassar yang hebat. Mereka berani berlayar sampai Cina, Australia, hingga Afrika. Pembina sekaligus penulis naskah Bahar Merdu mengolahnya menjadi cerita yang ringan, khas anak-anak, dan penuh humor. Para pemainnya semua masih pelajar SMP. “Kami datang untuk menghibur penonton dan dewan juri,” kata Bahar.

Seorang juri, Koes Yuliadi mengatakan, teater daerah punya kekuatan mengolah cerita lokal. Dialek, logat, dan budaya daerah juga menjadi daya tarik teaternya. “Tak harus jadi teater seperti di Jakarta atau ingin jadi teater Indonesia, budaya lokal sudah sangat kaya untuk diolah,” katanya.

ANWAR SISWADI

Dody, Aktor Mungil dari Teater Yogya

Dody, Aktor Mungil dari Teater Yogya
Festival Teater Remaja se-Indonesia di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. TEMPO/Aditya Herlambang Putra

  TEMPO.CO, Bandung - Ada sosok unik di tengah perhelatan Festival Nasional Teater Remaja di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, 3-6 Juli 2013. Sosok itu bernama Dody Veryanto dari Teater AFC Yogyakarta. Bertubuh mungil dan berusia 12 tahun, ia sudah duduk di bangku kelas 11 jurusan teater di SMK 1 Bantul, Yogyakarta.

Bersama kelompok teaternya dalam festival tersebut, Dody berperan sebagai dalang dalam lakon berjudul Sri. Saat latihan sebelum tampil di ruang serbaguna kampus STSI Bandung, Dody menjadi salah satu tokoh sentral. Ia duduk di atas kotak kayu sambil sesekali mengetukkan palu seperti seorang dalang wayang kulit. Sekitar delapan pemain yang mengelilinginya bergantian menimpali ocehan Dody sambil tertawa-tawa.

Sosok Dody yang masih seperti bocah balita mengundang perhatian kelompok teater lain yang juga berlatih di tempat itu. "Ini pementasan pertama saya," ujarnya, Sabtu, 6 Juli 2013. Walau terlihat tak canggung saat latihan, Dody ternyata pemalu ketika diwawancara.

Dody baru setahun bermain teater. Di sekolahnya, ia juga suka berpantomim. Sebulan berlatih untuk pementasan teater berjudul Sri ini, ia mengaku hanya menghafal sebagian naskah. "Sisanya boleh improvisasi," katanya.

Lakon Sri mengisahkan seorang tokoh bernama Sri dari Gunung Kidul. Kecantikan dan kepintarannya menjadi awal petaka. Ia ingin dilenyapkan oleh seorang penguasa. Naskah karya Y. Krismantono itu memadukan kisah Sri dengan cerita Dewi Sri di dunia perwayangan.

ANWAR SISWADI
TEMPO.CO, Bandung - Teater Payung Hitam akan berkampanye keliling ke sejumlah daerah soal calon presiden lewat lakon baru berjudul Palsu. Lewat tokoh utama Semar berwujud unik, drama itu mengajak penonton untuk menimbang calon-calon presiden yang kini telah bermunculan.

Penulis naskah sekaligus sutradara Teater Payung Hitam, Rachman Sabur, mengatakan bahwa drama itu akan dipentaskan keliling ke sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta Jakarta dan Yogyakarta. Waktunya dari September hingga menjelang Pemilihan Presiden 2014. "Kita coba mengkritisi bersama kondisi partai politik, juga menyindir dan mengkritik para calon presiden," ujar Rachman.

Pementasan perdana telah berlangsung di Gedung Sunan Ambu, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, Jumat malam, 23 Agustus 2013. Bekerja sama dengan kelompok Masyarakat Musyawar Mufakat, pementasan yang berlangsung selama kurang lebih satu jam itu sempat disaksikan calon presiden Wiranto di kursi paling depan.

Sempat ada bisik-bisik bahwa lakon itu pesanan dari partai politik tertentu, namun Rachman dengan tegas membantah. "Memang politis, tapi kami tidak berafiliasi ke partai politik manapun. Kami mau ada pemimpin yang eling (sadar)," ujarnya.

Drama berjudul Palsu diawali dengan kemunculan tiga sosok yang mengklaim diri sebagai Semar asli. "Aku Semar sejak zaman pra sejarah," kata lelaki berjas abu. "Aku Semar sejak awal sejarah," ujar lelaki berjas dokter. Lalu, pria satunya ikutan menyahut. "Aku Semar sepanjang sejarah," ucap lelaki berjas merah.

Namun ketiga Semar itu hanya ingin berkuasa bersama para oknum hakim, jaksa, dan pengacara yang suka memperkosa Dewi Keadilan. Suara rakyat jelata diabaikan karena terdengar berisik seperti pukulan besi berulang kali ke teralis. Hingga akhirnya, ketiga Semar itu tersadar setelah minum jamu.

Setelah itu muncul sosok Semar lain berbentuk wayang golek raksasa. Kemunculannya merubuhkan tembok latar panggung yang tersusun dari tumpukan kardus. Adapun Semar asli, hadir tanpa kepala. Rachman menggarap lakon itu dengan beragam simbol untuk mengisahkan kondisi politik dan sosial Indonesia sekarang.

ANWAR SISWADI

Sabtu, 05 Oktober 2013

Hmj Teater telah bangkit lagi dengan menciptakan karya terbaru .randai .dan semoga semua ini berjalan sesuai rencana,amin